Resensi Buku Bung Tomo - Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru



Judul Buku : Bung Tomo Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru (Kumpulan Karangan)
Penyunting: Frans M. Parera
Penerbit : Gramedia Jakarta 1982
Tebal Buku : 447 halaman

Melalui gambarnya yang begitu heroik, Bung Tomo menjadi sosok yang paling dikenang orang saat bangsa ini memperingati Hari Pahlawan, setiap 10 November. Di depan mikrofon, Bung Tomo nampak berdiri tegak begitu bersemangat mengangkat telunjuk.

Buku ini, bukan hanya menjelaskan siapakah Bung Tomo, pidatonya, keluarganya, pekerjaannya, dan kisah perjuangannya, melainkan juga menggambarkan situasi kota Surabaya pada saat kemerdekaan 17 Agustus, peristiwa Yamato 19 September, terbunuhnya Mallaby , 10 November 1945 hingga beberapa tahun setelahnya.

Soetomo memang seorang aktivis, sejak zaman penjajahan, ia mengikuti berbagai organisasi seperti Kepanduan Bangsa Indonesia, lalu mendirikan Parindra dan juga pernah bekerja sebagai wartawan di kantor berita Domei, milik Jepang. Karenanya ia mendapat banyak informasi tentang kemerdekaan Republik Indonesia. Lalu disebarkanlah informasi itu ke seluruh penjuru Surabaya baik melalui lisan maupun media resmi saat itu.

Pada tanggal 12 Oktober 1945 bersama dengan tokoh-tokoh seperti Sumarno, Asmanu, Abdullah, Amiadji, Sudjaro , Suluh Hangsono dan dibantu oleh pemimpin-pemimpin sopir becak, orang-orang tua yang berilmu gaib dan lain-lain, Bung Tomo mendirikan organisasi Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI).

Badan ini merupakan badan ekstrem, yang bersama-sama rakyat jelata akan menimbulkan pemberontakan bila kedaulatan Republik Indonesia disinggung atau bila kehormatan para pemimpin yang sedang menjalankan diplomasi terancam (halaman 49).

Dengan pembagian tugas yang jelas, PRI mulai bergerak! Melalui radio pemberontakan, Bung Tomo mulai berpidato, membakar semangat para pejuang. Selain itu, Bung Tomo juga bertugas mendekati dan menyusun oraganisasi pertempuran yang terdiri atau dipelopori oleh kusir-kusir dokar, sopir-sopir becak dan pegawai-pegawai pelbagai jawatan.

Di tengah-tengah perjuangan, terjadi peristiwa yang cukup mengagetkan, Bung Tomo ditangkap oleh anggota Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi perjuangan para pemuda di bawah pimpinan Soemarsono. Ia dibawa menemui Roestam Zain. Ternyata, penangkapan itu disebabkan salah paham para anggota dalam menerjemahkan perintah pimpinannya. Para pemuda itu mendapat perintah dari Dr. Moestopo untuk "melindungi" Bung Tomo. Selama ini, istilah melindungi digunakan oleh para pemuda untuk menangkap orang.


Ada tiga orang yang sering dipanggil bung yaitu Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo. Hubungan "Bung Kecil" dengan Bung Karno dan Bung Hatta memang mengalami pasang surut, terutama dengan Bung Karno. Meskipun pernah diangkat sebagai Jenderal Mayor oleh Bung Karno, ia tak segan menggugat kabinet Kerja yang dipimpin Bung Karno. Salah satunya karena pembubaran DPR. Gugatan itu diucapkan di muka sidang pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, 24 Agustus 1960.

Buku ini cukup lengkap menguraikan sosok Bung Tomo baik pada era penjajahan, Orde lama maupun orde baru. Secara umum, Bung Tomo merupakan sosok yang egaliter, suka berterus terang, tegas dan apa adanya, yang mungkin menjadi ciri khas arek-arek suroboyo. Ia begitu luwes bergaul dengan masyarakat awam seperti tukang becak, kusir dan lain-lain. Pada masa orde lama Ia juga tidak canggung bergaul dengan tokoh bangsa seperti Bung Karno, Amir Syarifudin, Jenderal Oerip Sumoharjo,  Jenderal Sudirman dan lain-lain.


Kiprah gemilang selama masa perjuangan  ternyata tak berlanjut hingga damai. Ia turut mendirikan sebuah partai, namun kalah. Kisah Bung Kecil berakhir di Arab Saudi pada 7 Oktober 1981.





0 Comments

Posting Komentar