Resensi Buku Filosofi Teras - Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini

 Buku Filsafat yang Tidak Rumit



Judul Buku :  Filosofi Teras - Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini

Pengarang: Henry Manampiring

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2019

Kota: Jakarta

Jumlah Halaman: 320 halaman

ISBN:  978-602-412-518-9


Ini adalah sebuah buku yang berisi kearifan, motivasi, kebijaksanaan dan tentu saja filsafat !. Berbeda dengan buku filsafat sejenis, buku ini tidak selalu berhamburan kata filsafat dalam bahasa Yunani. Anda justru akan menemukan banyak kata-kata berbahasa gaul di dalam buku ini. Penulisnya, nampak berusaha mendedikasikan buku ini untuk semua kalangan, namun yang paling utama adalah kaum milenial, atau generasi muda.

Menulis buku dengan tema masa lalu memang menyenangkan sekaligus penuh pertanyaan. Mungkinkah, filsafat pada masa 2000 tahun yang lalu, bisa tetap relevan pada masa kini ? Hal ini juga tampak dalam buku ini. Ada banyak pembahasan disertai contoh bagaimana penerapan filsafat Teras pada masa lalu untuk kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada masa kini.

Sebenarnya nama filsafat yang dimaksud penulis adalah aliran filsafat stoic, filsafat stoa. Sebuah aliran filsafat masa lalu. Apabila kita terjemahkan kata stoic ke dalam bahasa Indonesia, artinya adalah sangat tabah. Bagaimana kita bisa tabah dalam menghadapi setiap kesulitan hidup? Anda bisa membuka lembar demi lembar buku ini untuk mendapat jawabannya. 

Buku ini sangat menarik dengan beberapa alasan:

1. Rasa penasaran terhadap sampul buku yang bertuliskan Filosofi Teras.
2. Setiap lembar bukunya menunjukkan bahwa buku filsafat tidak selalu membosankan
3. Pembaca akan tertantang untuk melaksanakan isi buku.
4. Penulis mengalami sendiri, ia bisa mengatasi kesulitan hidup dengan filosofi teras ini.
5. Penulis tidak berupaya membuat pembaca meyakini bahwa filsafat teras ini adalah satu-satunya metode menyelesaikan kesulitan hidup.

Meskipun demikian, buku ini bukan tanpa kekurangan, bagi saya ada banyak kearifan lokal sejenis yang mengajarkan hal yang hampir mirip. Sisi baikmya, kita bisa memilih mana metode yang paling tepat ketika tertimpa kesulitan. Filsafat Stoa atau filosofi teras adalah salah satunya.


Arif Rahmawan

Resensi Buku Hadji Tempo Doeloe - Kisah Klasik Perjalanan Haji Zaman Dahulu - Emsoe Abdurrahman

Kisah Perjalanan Haji Indonesia Sejak Zaman Hindia Belanda, bahkan Sebelumnya



Judul Buku: HADJI TEMPO DOELOE - Kisah Klasik Berangkat Haji Zaman Dahulu

Pengarang: Emsoe Abdurrahman

Penerbit: Alim - Imprint of Penerbit MCM

Tahun Terbit: 2019 Cetakan 1

Tebal: 242 hlm.


Ini buku sejarah, kisah tentang perjalanan haji umat Islam pada masa lampau, bahkan hingga ke abad ke 14. "Dikisahkan dalam naskah cerita Parahiyangan, seorang bernama Bratalegawa, putra kedua Prabu Jayadewabrata atau sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371) yang menunaikan haji ke Mekkah." (halaman 2).  

Upaya penulis, Emsoe Abdurrahman, mengumpulkan data hingga jauh ke masa lalu, bukan hanya sejak Hindia Belanda, merupakan hal yang sangat menarik dan membutuhkan energi lebih. Ia menelusur jauh ke berbagai sumber termasuk naskah kuno yang berkaitan dengan perjalanan haji.

Termasuk laporan perjalanan Ludovico di Varthema (Lewis Barthema). "Pelancong yang satu ini berada di kota suci itu sekitar tahun 930 H (1504 H). Saat itu, Di Varthema mengamati ada banyak jamaah haji yang datang dari greater India (India besar, yaitu anak benua India) dan dari lesser India (India kecil, Insular India, atau kepulauan Nusantara). (halaman 4).

Keberangkatan jamaah haji juga dicatat oleh Dr. Hoesein Djajadiningrat, yang salah satunya mencatat tentang keberangkatan haji pada tahun 1630-an. Atau tokoh yang dianggap kontroversial seperti Snouck Hungronje yang mengungkapkan bahwa orang Indonesia yang akan menunaikan haji ke Makkah hampir tidak mengetahui cara untuk sampai ke sana. (halaman 37).  Akibatnya bisa anda baca sendiri dalam buku ini, tentu jauh berbeda dengan perjalanan haji pada masa modern ini. Haji pada masa lampau membutuhkan pengorbanan jiwa raga, mental, dan waktu. 

Buku ini begitu menarik karena menyajikan data dan fakta yang cukup akurat. Ditambah lagi dengan adanya gambar dan ilustrasi tentang perjalanan haji pada masa lampau. Pembaca bisa membayangkan bagaimana rumit dan berisikonya perjalanan haji ketika masih menggunakan kapal layar dan kapal uap. Salah satu hal yang juga tidak kalah menarik, penulis memberikan alasan mengapa Aceh disebut serambi Mekah. 

Nilai positif yang bisa diambil bangsa ini, khususnya umat Islam, perjalanan haji yang pada dasarnya merupakan bentuk peribadatan umat Islam, ternyata membutuhkan pengorbanan yang begitu besar bagi pemeluknya. Haji adalah perjalanan memenuhi rukun Islam yang risikonya jiwa. Alhamdulillah pada masa sekarang, perjalanan haji lebih mudah.

Saran saya, bagi penulis buku ini, pada edisi-edisi berikutnya, bisa ditambahkan lebih banyak sumber, agar pembaca bisa lebih merasakan bagaimana suasana haji saat lampau.


Arif Rahmawan, petugas perpustakaan

Resensi Buku Sejarah: Geger Sepoy Karya Lilik Suharmaji


Kisah Penghancuran Keraton Yogyakarta Oleh Raffles Beserta Intrik yang Menyertainya




Judul Buku: Geger Sepoy - Sejarah Kelam Perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta (1812-1815)

Pengarang :  Lilik Suharmaji

Penerbit: Araska Publisher, Yogyakarta

Cetakan: 1

Tahun Terbit: 2020

Tebal : 304 halaman


Sir Thomas Stamford Raffles. Nama tersebut begitu agung dan sangat bersejarah. Ia dikenal sebagai penulis buku monumental History Of Java, juga dikenal sebagai pemimpin Inggris di Hindia Belanda yang sangat mencintai kebudayaan. Dia begitu mengagumkan.

Setidaknya itulah yang terekam dalam benak kita. 

Buku berjudul Geger Sepoy ini bisa jadi akan mengubah cara pandang anda terhadap sosok Letnan Gubernur Sir Stamford Raffles, penguasa Hindia Belanda (1811-1816). Bahwa selain berjasa menemukan bunga Rafflesia Arnoldi, Raffles adalah perusak keraton Yogyakarta dalam arti sebenarnya.

Dalam buku ini, kita bukan hanya bisa membaca tentang Raffles sebagai tokoh sentral Geger Sepoy, namun kita juga disuguhi bagaimana peran tokoh-tokoh dinasti mataram dalam peristiwa tersebut.  Tokoh-tokoh lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung juga turut dihadirkan oleh penulis. Ia menjelaskan secara cukup terperinci tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Geger Sepoy ini. Layaknya sebuah drama, penulis memberikan gambaran yang cukup jelas siapa dan bagaimana peran setiap tokoh.

Kita bisa membaca profil tokoh-tokoh tersebut dalam BAB I. Di sana ada nama-nama seperti Sultan Hamengku Buwono II, Sultan Hamengku Buwono III, Patih Danurejo II, Raden Ronggo Prawirodirjo III, Sunan Paku Buwono IV, Pangeran Prangwedono, Pangeran Notokusumo, Kapiten Tan Jin Sing, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles, dan Tentara Sepoy. 

Bagaimana peran mereka? kepada siapa mereka berpihak? Anda bisa membaca pada bab-bab selanjutnya dari buku ini.


Hubungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta

Penulis memulai buku ini dengan menceritakan tentang berdirinya keraton Kesultanan Yogyakarta. Akan tetapi bukan sejak Panembahan Senopati, melainkan dibatasi sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646). Pada masa itu, kerajaan Yogyakarta sangat kuat dan memiliki wilayah yang luas.

Sayang sekali, sepeninggal Sultan Agung, penerusnya yaitu Sunan Amangkurat 1 sangat lemah. Pada saat itulah, VOC mulai ikut campur dalam urusan Keraton Mataram. Hingga akhirnya terpecahlah kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai hasil dari perundingan Giyanti 15 Februari 1755.  

Selain terjadi perpecahan Kerajaan Mataram tersebut, penulis juga menyajikan beragam konflik yang berlangsung antar tokoh di kedua kerajaan tersebut.

Misalnya, konflik di Surakarta yang terjadi antara Raden Mas Said dengan Sunan Paku Buwono II. R.M. Said terkenal sebagai tokoh anti VOC, sementara Sunan Paku Buwono II cenderung bersahabat dengan VOC.

Konflik lain terjadi antara Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) dan Raden Mas Said. Penyebabnya, Raden Mas Said meminta kepada Mangkubumi agar ia diangkat sebagai Pangeran Adipati Anom, ahli waris tahkta jika Mangkubumi menjadi raja. Tentu saja Mangkubumi menolak keras. (halaman 25)

Masih banyak konflik yang terjadi yang melibatkan tokoh-tokoh Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, VOC, Belanda, dan Inggris. Perseteruan terbesar adalah antara Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) melawan Raffles.

Menariknya, ketika penyerbuan itu terjadi, Kasunanan Surakarta maupun Mangkunegaran justru lebih berpihak kepada Raffles dengan porsi masing-masing. Jika Mangkunegaran terang-terangan bersama tentara Inggris (Sepoy) turut menyerbu istana Yogyakarta, Prajurit Surakarta memilih berhenti di perbatasan Surakarta-Yogyakarta untuk menghalau jika sewaktu-waktu ada prajurit yang membantu Yogyakarta.

Bukan hanya itu, di lingkungan internal kerajaan Yogyakarta, Sultan Sepuh juga tidak didukung oleh Sang Putra Mahkota dan tokoh-tokoh lain. Ketika Geger Sepoy terjadi pada 19 Juni 1812 – 20 Juni 1812, beliau dikeroyok banyak pihak.


Catatan Penting Buku Ini

Buku ini tidak semata-mata menceritakan proses terjadinya penghancuran disertai penjarahan besar-besaran yang dilakukan oleh Raffles,  tentara Inggris yang didominasi tentara dari Sepoy, dan pasukan Mangkunegaran terhadap Keraton Yogyakarta, tetapi juga sejarah perebutan kekuasaan antar dinasti mataram (keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta) yang melibatkan Belanda dan kemudian Inggris.

Ini merupakan buku yang penting untuk dibaca generasi muda, khususnya mereka yang ingin memahami secara cepat, bagaimana konflik-konflik di lingkungan dinasti mataram hingga berpuncak pada peristiwa Geger Sepoy.

Namun sayang, bisa jadi karena tergesa-gesa atau karena penyebab lain, saya menemukan banyak kesalahan penulisan dalam buku ini, yaitu lupa menggunakan tanda baca koma. Setidaknya saya melihat pada halaman 35, 62,65, 83,93, 103, 114, 131,146,153,171,172,193, dan 207. 

Ada juga kesalahan penulisan yaitu pada halaman 92, tertulis, "kedekatan Notokusumo dengan ayahandanya dikhwatirkan oleh...."

Kata dikhwatirkan seharusnya dikhawatirkan.

Lalu ada lagi, "...sehingga yang muncul kepermukaan...."

kepermukaan seharusnya ke permukaan.

Coba juga perhatikan salah satu kalimat ini.

"Ia dapat menguasai dengan 3 bahasa dunia yakni Cina, Jawa, dan Barat."

Apakah anda merasa janggal terhadap kalimat tersebut? Menurut saya setelah kata  dengan semestinya ditambah dengan kata baik. (halaman 105)

Masih ada lagi yaitu penggunaan kata ekspidisi pada halaman 147 seharusnya ekspedisi.

Meskipun demikian, saya tetap menyarankan anda membaca buku ini, sebelum berwisata ke kota Yogyakarta khususnya ke benteng Vrederburg. 


Arif Rahmawan, tenaga perpustakaan SMA N 1 Purwodadi

Resensi Buku Ani Yudhoyono - Kepak Sayap Putri Prajurit

Kisah Putri Seorang Tentara




Judul Buku: Ani Yudhoyono - Kepak Sayap Putri Prajurit
Pengarang :  Alberthiene Endah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2010
Tebal : 551 halaman


Albertheine Endah merupakan sosok penulis biografi tokoh-tokoh penting negeri ini. Ia pernah menulis biografi Krisdayanti (2003), Chrisye (2007), Probosutedjo (2010), dan beberapa tokoh lainnya. Buku tentang Ibu Kristiani Herawati sendiri diterbitkan pada tahun 2010. Dengan begitu banyaknya karya biografi tokoh besar yang telah ditulisnya, Albertheine Endah tentu saja memiliki ketajaman dalam memilih dan memilah hal-hal unik dan terbaik dari tokoh untuk ditampilkan dalam buku yang ditulisnya. Hal itulah yang sepertinya juga terlihat dalam buku Ani Yudhoyono - Kepak Sayap Putri Prajurit.

Ani Yudhoyono - Kepak Sayap Putri Prajurit merupakan buku yang sangat unik. Buku tersebut bercerita tentang sosok seorang perempuan sipil bukan militer, akan tetapi sebagian besar isinya justru bercerita tentang dunia militer dan tentu saja tentang sosok lelaki. Siapakah lelaki-lelaki itu, tentu saja anda bisa menebak yaitu Sarwo Edie Wibowo dan Susilo Bambang Yudhoyono. Membaca buku ini, selain membuat kita mengenal Ibu Ani Yudhoyono, sekaligus akan membawa kita lebih mengenal lebih jauh siapakah kedua tentara itu.

Dalam pengamatan saya, Ibu Ani adalah sosok putri yang sangat membanggakan Papi-nya dan sosok istri yang sangat bangga memiliki seorang suami seperti Bapak SBY. Sang papi, Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo digambarkan sebagai sosok yang dandy, keren dan rapi. Papi juga sosok tentara yang memiliki nasionalisme dan kebanggaan sebagai prajurit yang tidak perlu diragukan. Sementara sosok SBY, sang suami digambarkan sebagai sosok pria yang cerdas, rajin membaca buku, pandai bernyanyi, dan sangat bertanggung jawab.

Pada bagian awal, Ibu Ani bercerita tentang bagaimana beliau menjalani masa kecil di berbagai tempat di negeri ini. Tuntutan tugas dari sang Papi, membuat beliau mau tidak mau harus cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ibu Ani begitu bahagia bisa mendapat bimbingan dan asuhan dari Papi dan ibu yang membiarkannya bermain-main akrab dengan alam sekitar.

Cerita pun bergulir dimulai sejak masa kecil bersama Papi dan Ibu hingga menjalani bahtera bersama SBY.

Perihal namaku, ada kisahnya tersendiri. Saat aku lahir, Papi sedang ditugaskan di Batalyon Kresna di Yogyakarta. Ini sebuah kebetulan, karena Papi jug sangat mengagumi tokoh pewayangan yang berkarakter baik, Kresna. Begitu aku lahir, Papi langsung mendapat ilham untuk menyematkan "Kresna" dalam namaku. Tentu saja tidak mungkin aku diberi nama Kresna, karena identik dengan laki-laki. Akhirnya Papi memberiku nama Kristiani. Sedangkan Herrawati dipilih Papi dari penggalan kisah yang pernah diceritakan ayahnya. (halaman 39)

Banyak yang tidak mengetahui bahwa Ibu Ani terlahir secara prematur. Beliau harus ditempatkan dalam inkubator rumah sakit. Akan tetapi dengan perawatan yang hati-hati, Ibu Ani tumbuh dengan sehat.

Masa remaja dilalui dengan berbagai peristiwa. Sempat kuliah di kedokteran, hingga akhirnya terpaksa berhenti kuliah lalu menjadi istri dari lulusan AKABRI terbaik tahun 1973. Semua itu diceritakan dengan cukup terperinci.

Setelah menikah, Ibu Ani hidup bersama sang perwira muda. Kemudian memiliki dua putra. Putra pertama meneruskan karir dalam bidang militer. Perjalanan selama mendampingi Bapak SBY juga menjadi momen yang mendebarkan sekaligus membanggakan beliau.

Buku setebal 551 halaman ini merupakan buku biografi yang enak untuk dibaca. Saya jarang menemukan kesalahan penulisan, atau kesalahan penulisan tanda baca dalam buku ini. Bab demi bab mengalir dengan cukup lancar. Gambar pendukung juga sangat membantu pembaca dalam memahami kejadian demi kejadian. Albertheine Endah berhasil menampilkan sosok Ibu Ani yang pada dasarnya agak aktif pada masa kecilnya hingga akhirnya menjadi sosok ibu negara yang anggun yang selalu mendampingi presiden.

Kekurangan dari buku ini sepertinya sangat sedikit. Apabila ada pembaca yang merasa bahwa buku ini terlalu sempurna menampilkan sosok Ibu Ani, mereka harus maklum bahwa buku ini adalah biografi. Atau bisa jadi memang seperti itulah sosok Ibu Ani.


Resensi Buku Bung Tomo - Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru



Judul Buku : Bung Tomo Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru (Kumpulan Karangan)
Penyunting: Frans M. Parera
Penerbit : Gramedia Jakarta 1982
Tebal Buku : 447 halaman

Melalui gambarnya yang begitu heroik, Bung Tomo menjadi sosok yang paling dikenang orang saat bangsa ini memperingati Hari Pahlawan, setiap 10 November. Di depan mikrofon, Bung Tomo nampak berdiri tegak begitu bersemangat mengangkat telunjuk.

Buku ini, bukan hanya menjelaskan siapakah Bung Tomo, pidatonya, keluarganya, pekerjaannya, dan kisah perjuangannya, melainkan juga menggambarkan situasi kota Surabaya pada saat kemerdekaan 17 Agustus, peristiwa Yamato 19 September, terbunuhnya Mallaby , 10 November 1945 hingga beberapa tahun setelahnya.

Soetomo memang seorang aktivis, sejak zaman penjajahan, ia mengikuti berbagai organisasi seperti Kepanduan Bangsa Indonesia, lalu mendirikan Parindra dan juga pernah bekerja sebagai wartawan di kantor berita Domei, milik Jepang. Karenanya ia mendapat banyak informasi tentang kemerdekaan Republik Indonesia. Lalu disebarkanlah informasi itu ke seluruh penjuru Surabaya baik melalui lisan maupun media resmi saat itu.

Pada tanggal 12 Oktober 1945 bersama dengan tokoh-tokoh seperti Sumarno, Asmanu, Abdullah, Amiadji, Sudjaro , Suluh Hangsono dan dibantu oleh pemimpin-pemimpin sopir becak, orang-orang tua yang berilmu gaib dan lain-lain, Bung Tomo mendirikan organisasi Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI).

Badan ini merupakan badan ekstrem, yang bersama-sama rakyat jelata akan menimbulkan pemberontakan bila kedaulatan Republik Indonesia disinggung atau bila kehormatan para pemimpin yang sedang menjalankan diplomasi terancam (halaman 49).

Dengan pembagian tugas yang jelas, PRI mulai bergerak! Melalui radio pemberontakan, Bung Tomo mulai berpidato, membakar semangat para pejuang. Selain itu, Bung Tomo juga bertugas mendekati dan menyusun oraganisasi pertempuran yang terdiri atau dipelopori oleh kusir-kusir dokar, sopir-sopir becak dan pegawai-pegawai pelbagai jawatan.

Di tengah-tengah perjuangan, terjadi peristiwa yang cukup mengagetkan, Bung Tomo ditangkap oleh anggota Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi perjuangan para pemuda di bawah pimpinan Soemarsono. Ia dibawa menemui Roestam Zain. Ternyata, penangkapan itu disebabkan salah paham para anggota dalam menerjemahkan perintah pimpinannya. Para pemuda itu mendapat perintah dari Dr. Moestopo untuk "melindungi" Bung Tomo. Selama ini, istilah melindungi digunakan oleh para pemuda untuk menangkap orang.


Ada tiga orang yang sering dipanggil bung yaitu Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo. Hubungan "Bung Kecil" dengan Bung Karno dan Bung Hatta memang mengalami pasang surut, terutama dengan Bung Karno. Meskipun pernah diangkat sebagai Jenderal Mayor oleh Bung Karno, ia tak segan menggugat kabinet Kerja yang dipimpin Bung Karno. Salah satunya karena pembubaran DPR. Gugatan itu diucapkan di muka sidang pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, 24 Agustus 1960.

Buku ini cukup lengkap menguraikan sosok Bung Tomo baik pada era penjajahan, Orde lama maupun orde baru. Secara umum, Bung Tomo merupakan sosok yang egaliter, suka berterus terang, tegas dan apa adanya, yang mungkin menjadi ciri khas arek-arek suroboyo. Ia begitu luwes bergaul dengan masyarakat awam seperti tukang becak, kusir dan lain-lain. Pada masa orde lama Ia juga tidak canggung bergaul dengan tokoh bangsa seperti Bung Karno, Amir Syarifudin, Jenderal Oerip Sumoharjo,  Jenderal Sudirman dan lain-lain.


Kiprah gemilang selama masa perjuangan  ternyata tak berlanjut hingga damai. Ia turut mendirikan sebuah partai, namun kalah. Kisah Bung Kecil berakhir di Arab Saudi pada 7 Oktober 1981.





Resensi Buku Diamond In The Rough karya Nathania Christy

Kisah Inspiratif Penuh Motivasi Peraih Beasiswa ke Singapura


Judul Buku : Diamond In The Rough
Pengarang : Nathania Christy
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2014
Tebal Buku : 201 halaman

Bagi para pelajar, bisa meraih beasiswa merupakan sebuah impian mulia, apalagi jika bisa meraih beasiswa ke luar negeri. Nathania Christy contohnya. Nia (nama panggilan Nathania Christy) berhasil meraih beasiswa ke negara Singapura. Beasiswa tersebut bernama School-Based Scholarship. 

Dalam buku berwarna pink ini, Nia memulai bercerita tentang bagaimana mimpi menjadi motivasi besar penentu keberhasilannya dalam meraih beasiswa. Secara ringkas, ia menuliskan siklus mimpinya.

Bermimpi -> berjuang untuk menggapai mimpi itu-> mendapatkan mimpi -> menjalaninya -> mulai bermimpi hal-hal baru yang lebih besar lagi.

Nia juga menyukai mimpi yang step by step. Pada awalnya Nia bercita-cita untuk bisa mendapatkan beasiswa di Singapura, lalu ia bercita-cita bisa sekolah Victoria JC. Di luar dugaan, nilainya mengalahkan mimpinya, sehingga ia bisa masuk ke Raffles JC yang peringkatnya lebih tinggi.

Nia memulai pendidikan di Singapura dengan bersekolah di Bukit Panjang Goverment High School setelah itu melanjutkan pendidikan di Raffles Junior College, sebuah sekolah bergengsi yang tidak sembarang orang bisa masuk ke sekolah tersebut, bahkan warga negara Singapura sendiri.

Di singapura, bersama dengan peraih beasiswa dari negara lain, Nia mendapat julukan scholars. Perlu diketahui bahwa Nia memperoleh beasiswa tersebut  dari Departemen Pendidikan Singapura. Pemerintah Singapura mengeluarkan uang sekitar Rp280 miliar untuk warga negara asing agar bisa meraih pendidikan gratis di Singapura.  Kebijakan tersebut memang cukup aneh, namun tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing warga negara Singapura.

Nia bercerita tentang pendidikan di Singapura yang sangat ketat dan disiplin. Seseorang yang sudah terkenal pintar dan selalu mendapat nilai A, bisa saja tiba-tiba mendapat nilai E karena ia tidak belajar. Makanya, pelajar di Singapura selalu belajar setiap hari. Mereka selalu membaca buku di manapun berada.

Di Singapura, tidak hanya dalam bidang pendidikan, persaingan dalam berbagai bidang sangatlah ketat hal tersebut tidak terlepas dari budaya Singapura yang bernama Kiasu yang berarti "takut kalah".

Tak heran, di tempat-tempat umum seperti  Starbuck, banyak meja yang penuh dengan kertas, kepala tertuntuk sambil memegang pensil dan kalkulator besar. Mereka adalah anak Junior College yang sedang belajar.

Kelemahan Buku Ini

Buku ini sebenarnya merupakan buku biografi yang sarat dengan informasi dan motivasi. Informasi tentang pendidikan di Singapura dengan segala kerumitannya. Motivasi bagi pelajar dan masyarakat Indonesia secara umum bahwa negara sekecil Singapura ternyata sangat disiplin dalam berbagai bidang. Sesuatu yang sepatutnya bisa ditiru oleh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, buku ini memiliki kekurangan dari segi penyajian. Pertama, bab demi bab rasanya kurang runtut. Kedua, terlalu banyak kata-kata dalam bahasa inggris yang diselipkan.

Jika buku sebagus ini disajikan dengan lebih baik lagi, sepertinya bisa menjadi buku best seller. Terlepas dari itu, saya menyarankan buku ini wajib dibaca para pelajar mulai dari SD hingga perguruan tinggi, baik yang menginginkan beasiswa maupun tidak.